Film dimulai
sekitar jam 4 sore.Karena keberuntungan saja, kami dapat tiket pada kursi
deretan paling atas (berkat mengantri 5 jam sebelumnya) walau berada di hampir
pojok kanan. Film ini sangat digandrungi anak-anak muda saat itu, jadi kami
perlu memesannya jauh sebelum film dimulai. Lagipula aku merasa tidak rugi
berada di dalam bioskop selama 3 jam lebih karena memang selama itulah durasi
film tersebut.
Setelah duduk di
dalam bioskop, kami membuka ‘perbekalan’ kami (berhubung selama 3 jam ke depan
kami akan terpaku di depan layar). Aku mengeluarkan popcorn dan minuman yang
telah kami beli di luar.
Michael duduk di
sebelah kiriku. Dua bangku paling pojok di sebelah kananku masih kosong.
Beberapa menit kemudian, trailer film-film sudah mulai diputar. Menjelang film
Lord Of The Ring dimulai, seorang pria bersama pacarnya duduk di sebelah
kananku. Aku hanya dapat melihatnya samar-samar karena suasana di dalam ruangan
itu sangat gelap.
Pria itu duduk
tepat di sebelah kananku dan pacarnya di sebelah kanan pria itu. Mereka pun
mengeluarkan makanan dan minuman untuk disantap selama film diputar.
Sepuluh menit
berlalu setelah film tersebut berjalan. Aku sekilas melihat pria di sebelahku
menaruh tangan kirinya di alas lengan di antara kursi kami berdua. Sedangkan
tangan kanannya menggenggam tangan pacarnya.
Ia mengenakan
sebuah cincin dengan hiasan batu cincin besar yang sangat mencolok di jari
tengah tangan kirinya. Dan di jari manisnya ia mengenakan sebuah cincin yang
sangat sederhana. Menurut analisaku pria ini telah menikah. Selain dari cincin
yang kuduga adalah cincin pernikahan, aku juga melihat sekilas wajah pria itu.
Kulitnya lebih
hitam dari kulitku yang putih (aku dari keturunan chinese). Dari wajahnya aku
memperkirakan umurnya sekitar 35-an. Akan tetapi aku tidak sempat melihat
wanita yang datang bersamanya (istrinya?). Pikiranku menduga-duga apakah pria
ini sedang berselingkuh dengan wanita lain. Namun segera aku tepis pikiran itu
dan mengatakan pada diriku sendiri bahwa pria itu sedang bersama istrinya dan
tidak perlu aku berprasangka buruk terhadap mereka.
Aku kembali
berkonsentrasi pada film di layar di hadapanku sambil menikmati kudapan.
Sesekali Michael juga meraup popcorn yang kupegangi itu. Michael begitu serius
menonton. Memang ia sangat menyukai film yang merupakan akhir dari 2 seri
sebelumnya. Setengah jam kemudian, semua makanan dan minuman yang kami beli
tadi sudah habis. Boleh dikatakan film itu sangat tegang. Dengan adegan perang
yang sangat seru, mataku mau tidak mau terpaku pada layar. Pada satu adegan
yang mengejutkan, aku sampai terlonjak dan berteriak. Michael meraih tangan
kiriku dan menggenggamnya dengan lembut. Aku pun semakin mendekatkan diri
padanya karena memang pada dasarnya aku takut menonton adegan perang.
Dari ujung mataku,
aku merasakan pria di sebelahku memandangi kami (atau aku?). Karena pria itu
hanya sebentar saja memandangi kami, aku tak menggubrisnya. Akan tetapi makin
lama, pria itu semakin sering dan semakin lama memandangi kami. Aku
menyempatkan diri untuk melirik ke arahnya dan benar dugaanku bahwa pria itu
memang memandangi kami, atau lebih tepatnya ia memandangi aku.
Walau merasa
risih, aku memutuskan untuk mengacuhkan pria itu. Untunglah film itu terus
menerus mengetengahkan adegan-adegan yang seru sehingga aku dapat dengan mudah
melupakan pria itu.
Film telah
berlangsung hampir setengahnya. Michael berkata bahwa ia ingin buang air kecil.
Dalam gelap, ia meninggalkanku (kebetulan film bukan sedang adegan yang seru).
Setelah Michael
hilang dari pandanganku, tiba-tiba pria itu menepuk lenganku dan berkata,
“Sudah baca bukunya?”
Aku terlonjak karena
kaget tiba-tiba diajak ngobrol seperti itu di tengah pemutaran film. Seingatku
aku tidak pernah berbicara dengan orang asing di dalam bioskop (apalagi saat
film sedang berlangsung).
Aku mengira-ngira
apa yang dimaksud dengan pertanyaan pria itu. Aku rasa ia menanyakan tentang
buku Lord Of The Ring 3. Aku menjawab singkat, “Belum.”
Entah mengapa
jantungku jadi berdebar kencang. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hatiku.
Campuran antara kaget, curiga, penasaran dan… takut. Dari awal berbicara denganku,
pria itu menatap mataku dalam-dalam seperti sedang membaca pikiran dalam
benakku.
“Sayang sekali.
Baca dulu deh, baru bisa lebih menikmati filmnya,” pria itu menyanggah dengan
suara yang dalam namun pelan.
Setelah itu ia
kembali menatap ke depan dan meneruskan menonton. Aku ditinggalkan dalam
perasaan yang tidak menentu dan agak kosong. Anehnya aku merasa seperti ingin
menangis. Pada saat itulah Michael kembali.
Aku tidak
menceritakan kejadian aneh itu kepadanya. Mungkin karena aku tidak ingin mengganggu
kenikmatannya menonton film itu. Tapi alasan yang lebih menonjol adalah
timbulnya rasa takut untuk menceritakannya kepada pacarku saat itu.
Aku berusaha untuk
menonton lagi walau pikiranku terus melayang ke sana kemari. Ketika pikiranku
berputar-putar tak tentu arah, tiba-tiba aku merasakan ada yang menyentuh
pundak kananku.
Awalnya aku
mengira Michael yang menyentuhnya. Tetapi setelah kuperhatikan, ia sama sekali
tidak bergerak (ia masih serius memperhatikan layar bioskop).
Aku melihat ke
belakangku. Tidak ada apa-apa karena memang kami duduk di baris paling
belakang. Aku melihat ke sebelah kananku dan mendapati pria itu sedang menonton
dengan asik bersama istrinya.
Setelah lelah
mencari-cari, aku kembali menonton. Dalam hati aku masih mencari-cari apa yang
menyentuh pundakku itu. Tadi aku benar-benar merasakan sebuah tangan menyentuh
pundakku. Aku yakin benar. Namun aku jadi bingung karena tidak melihat adanya
orang lain di sekitarku yang mungkin melakukannya.
Kepalaku menjadi
pusing dan berputar. Aku merasa mual dan tidak enak badan. Aku menutup mataku
untuk menenangkan pikiranku. Beberapa detik kemudian, aku merasakan diriku
seperti sedang mengapung di air yang sejuk dan tenang. Semua perasaan tak enak
tadi sekonyong-konyong lenyap begitu saja dan digantikan dengan perasaan nyaman
dan santai.
Mataku masih
terpejam pada saat aku kembali merasakan sebuah tangan menjamah pundak kananku.
Aku berusaha untuk tetap tenang. Aku melirik ke pria di kananku. Ia duduk
berdempetan dengan istrinya. Pria itu sedang merangkul pundak istrinya.
Kecurigaanku
padanya langsung hilang begitu mengetahui ia tidak sedang berada dekat dengan
tubuhku. Aku menengok ke Michael dan juga mendapati ia sedang asyik menonton.
Dengan adanya perasaan sebuah tangan sedang merangkul pundakku, aku meneruskan
menonton sambil mencoba untuk tidak memikirkan hal itu. Usahaku sia-sia.
‘Tangan’ di pundak
kananku bergerak-gerak ke atas dan ke bawah seperti sedang mengusap-usap lembut
tubuhku. Kemudian aku merasakan ada angin hangat berhembus perlahan meniup
bagian kiri leherku.
Aku langsung
menengok ke arah datangnya angin itu. Tidak ada apa-apa. Michael sedang duduk
melipat tangan di depan dadanya sambil bersilang kaki.
Belum sempat aku
berpikir lebih jauh, aku merasakan leherku dijilat. Ya, aku benar-benar
merasakan sebuah lidah yang hangat dan basah menyapu leherku itu. Bulu kudukku
spontan meremang.
Langsung aku
menengok lagi sambil mengusap leherku pada bekas jilatan itu. Kering. Tidak
basah sama sekali. Dan tidak ada apa-apa di sampingku.
Michael rupanya
agak terganggu dengan kegelisahanku. Dia menanyakan ada apa. Aku tidak
memberitahukannya. Aku menyuruhnya untuk kembali menonton.
Michael kembali
menonton. Ia menggenggam tangan kiriku dan mendekatkan tubuhnya sehingga lengan
kanannya menempel dengan lengan kiriku. Aku masih merasakan pundak kananku
dirangkul oleh ‘tangan’ yang tak nampak.
Dalam posisi yang
lebih dekat dengan pacarku, aku bisa menjadi lebih tenang. Namun perasaan
tenang itu hanya sebentar.
Kuping kiriku
dikecup dengan lembut. Aku menengok ke kiri. Tetap saja tidak ada apa-apa
selain Michael yang sedang menatap serius layar di depan.
Aku mulai panik.
Jangan-jangan ada mahluk halus di dalam bioskop itu, pikirku. Aku merasakan
kembali kecupan itu. Mulai dari telingaku lalu bergerak ke bagian belakangnya.
Pada saat kecupan
itu menghampiri belakang telingaku, darahku mendesir dengan kuat. Jantungku
berdebar. Hanya Michael (dan diriku tentunya) yang tahu bahwa belakang telinga
merupakan titik erogenku (erogen = daerah pada tubuh yang sensitif terhadap
rangsangan sexual).
Aku melepaskan
nafas yang panjang melalui mulutku sambil mengubah posisi duduk. Michael
melihat perubahan pada diriku. Tentu ia mengira aku bosan karena setelah itu ia
mengusap-usap tanganku yang digenggamnya.
Entah apa yang
sedang terjadi pada diriku. Hanya karena Michael mengusap-usapkan jari-jarinya
di tanganku, aku menjadi terangsang. Hal seperti ini belum pernah terjadi
sebelumnya. Walau kami sudah berpacaran lebih dari setahun, aku tidak pernah
berbuat jauh selama berpacaran dengan Michael. Tidak pernah melebihi ciuman di
kening, pipi dan bibir. Aku tahu sebenarnya diriku tergolong gadis yang tidak
tertarik akan hal-hal yang berbau sex, boleh dibilang: frigid.
Baru akhir-akhir
ini saja aku mulai melayani Michael dengan tanganku. Pertama kali memegang
penisnya, aku merasa risih dan agak jijik. Namun setelah melakukannya dua atau
tiga kali, aku dapat mengatasi perasaan tersebut.
Hal yang paling
menarik dalam memberi Michael ‘hand-job’ adalah pada saat dirinya berejakulasi.
Melihat dirinya mengejang-ngejang sangatlah menarik dan sexy. Juga sebelumnya
aku tidak pernah membayangkan seorang pria dapat menyemprotkan cairan seperti
itu.
Michael pernah
memintaku untuk menghisap kemaluannya. Tentu saja aku tolak. Dan untunglah
sampai saat ini ia tidak pernah memintanya lagi.
Michael juga tidak
pernah menjamah tubuhku. Sentuhan-sentuhannya paling hanya berkisar pada lengan
dan wajahku. Aku tidak akan mengijinkannya menjamah dadaku terlebih lagi
kemaluanku, dan ia tahu itu. Aku takut kami tidak dapat mengendalikan diri
sehingga akhirnya kami kebobolan. Aku ingin agar hubungan sex kami dilakukan
pada malam pertama yang sakral. Singkat kata, kami menerapkan sistem berpacaran
yang ketat dan konservatif. Sampai saat ini aku masih perawan dan begitu pula
Michael (setidaknya ia mengaku demikian). Michael merupakan pacar pertamaku
sedangkan Michael sebelumnya sudah pernah satu kali berpacaran. Jadi saat itu
adalah pertama kalinya aku mendapatkan ‘kecupan’ di belakang kuping. Michael
pernah menyentuhnya dengan ujung jarinya dan itu saja sudah membuatku berdebar.
Aku tidak dapat berpikir
banyak. Biasanya aku dapat mengatasi dorongan sexualku namun saat itu aku
seakan jatuh ke dalam aliran sungai birahi yang deras dan hanyut terbawa
arusnya.
Jantungku serasa
akan mau copot pada saat kecupan itu bergerak turun ke leherku. Aku mengerang
sedikit karena saat sadar apa yang kuperbuat, aku segera menghentikan
eranganku. Michael tidak mendengar eranganku tadi.
Aku menoleh ke
kanan untuk melihat apakah pria itu mendengar eranganku tadi. Rupanya pria itu
sedang mencumbu istrinya. Bagus, pikirku. Dengan demikian ia tidak akan melihat
atau mendengarkan diriku.
Sebenarnya aku
agak risih berada di samping pria yang sedang mencumbu istrinya itu. Walau
demikian aku mencuri-curi pandang ke arah pria itu untuk melihat apa yang
sedang dilakukannya. Lewat ujung mataku, diam-diam aku memperhatikan sepasang
insan yang sedang bercumbu itu.
Pria itu sedang
menciumi leher istrinya. Tangan kanannya dirangkulkannya ke pundak istrinya.
Istrinya terlihat sangat menikmati.
Saat tangan kiri
pria itu memegang lengan kiri istrinya, aku juga merasakan ada sebuah tangan
menyentuh bagian atas lengan kiriku. Aku kaget memikirkan kemungkinan yang
terjadi saat itu. Tangan kiri pria itu menggenggam erat lengan kanan istrinya.
Genggaman pada lengan kananku juga bertambah. Kecurigaanku semakin kuat.
Entah bagaimana,
semua perbuatan pria itu pada istrinya juga dirasakan oleh tubuhku. Aku sangat
takut. Memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi kemudian, jantungku seperti
berhenti berdetak.
Perasaan pusing
dan berputar itu kembali muncul seiring dengan usahaku untuk ‘membebaskan
diri’. Semakin aku berusaha, kepalaku semakin sakit.
Akhirnya aku
menyerah dan tidak memberikan perlawanan lagi. Aku membiarkan semua ‘perasaan’
yang muncul saat itu.
Pria itu menarik
wajah istrinya mendekat lalu memagut bibirnya. Pagutan mulut pria itu pada
istrinya terasa jelas pada bibir mulutku. Setiap sentuhan, tekanan serta usapan
bibir dan lidah pria itu semua kurasakan pada bibir dan mulutku. Aku menutup mulutku
rapat-rapat namun masih saja merasakan pagutan yang kian memanas.
Aku tahu lidah
pria itu sedang bermain-main dengan lidah istrinya karena lidahku pun merasakan
sensasi itu. Mendapati diriku menikmati semua itu membuat malu diriku. Aku
belum pernah merasakan kenikmatan seperti ini pada saat berciuman dengan
Michael.
Setelah pria itu
melepaskan mulutnya dari bibir istrinya, wanita itu tampak terengah-engah.
Sialnya, aku pun mengalami hal yang sama. Dadaku naik turun terengah-engah,
seperti baru selesai berlari.
Untunglah sampai
saat itu, baik pria itu maupun Michael tidak memperhatikan diriku. Lalu
pemikiran itu muncul. Jangan-jangan pria di sebelahku itu memang sedang
mengguna-gunai aku dengan pelet, hipnotis, guna-guna atau hal-hal lain yang sejenisnya.
Jika benar demikian, berarti seharusnya ia tahu apa yang sedang terjadi pada
diriku.
Aku teringat
perkataan pendetaku di gereja, bahwa orang beriman tidak bisa kena guna-guna
atau pelet. Hatiku mencelos. Sudah sekian lama aku tidak beribadah kepada
Tuhan. Seharusnya dua minggu lalu, aku menerima ajakan temanku untuk ke gereja
bersamanya. Namun aku malah pergi bersenang-senang ke mall.
Penyesalanku
menguap dengan cepat pada saat aku merasakan payudaraku ‘dijamah’. Jamahan itu
tidak terlalu terasa. Aku melirik ke kanan. Pria itu sedang menggerayangi dada
istrinya.
Untungnya aku
tidak terlalu merasakan apa-apa pada saat itu. Belum pernah aku disentuh oleh
orang lain pada daerah dadaku. Boleh dikatakan saat itu merupakan pertama
kalinya aku merasakan sentuhan (walau secara tak langsung) pada payudaraku. Dan
rupanya tidak senikmat seperti yang kudengar dari omongan orang.
Akan tetapi aku
harus segera meralat pendapatku itu. Pria itu memasukkan tangannya ke dalam
kemeja istrinya. Tangannya hilang di balik kemeja tersebut sehingga aku tidak
tahu apa yang sedang dilakukannya.
Detik berikutnya
sungguh membuatku melambung tinggi. Aku merasakan dengan sangat jelas,
jari-jari pria itu memuntir lembut puting susu istrinya. Aku memejamkan mataku
sambil mengatur nafasku yang mulai tak teratur karena secara tak langsung aku
pun merasakan jemari pria itu menari-nari pada payudara dan puting susuku.
Sejenak aku merasa
jijik pada pria itu tetapi setelah beberapa saat perasaan yang tinggal hanyalah
birahi semata. Selama ini aku mengira bahwa aku tidak akan pernah menikmati
hal-hal sexual seperti ini. Sekarang aku merasakan yang sebaliknya.
Pilinan jari-jari
pria itu membuat darahku lebih menggelegak dibanding sensasi dari ciuman di
belakang telingaku. Aku tidak pernah menyadari bahwa payudaraku (terutama
putingnya) sangat sensitif. Sejak saat itu aku baru tahu bahwa daerah payudara
juga merupakan titik erogen pada tubuhku.
Belum sempat aku
mengikuti pacu detak jantungku, aku merasakan pria itu menyentuh bagian dalam
paha istrinya. Kemudian pria itu mengusap kemaluan istrinya. Usapannya terasa
seperti terhalang sesuatu (yang akhirnya kutahu bahwa ia mengusap kemaluan
istrinya yang masih tertutup celana dalam).
Aku membuka mataku
dan menoleh sedikit ke arah pria itu untuk melihat apa yang sedang
dilakukannya. Dengan tangan kanannya, ia memain-mainkan payudara istrinya dan
tangan kirinya merogoh selangkangan istrinya. Saat itulah aku dapat dengan
lebih jelas melihat istrinya.
Wanita itu sangat
cantik (jauh lebih cantik dariku). Bila ia mengaku dirinya artis dengan mudah
aku akan percaya. Kulitnya sedikit lebih putih dibanding suaminya namun masih
lebih gelap dari kulitku. Rambutnya panjang agak ikal. Dari wajahnya ia
terlihat begitu menikmati sentuhan-sentuhan suaminya (yang secara tak langsung
juga kunikmati). Ia mengenakan kemeja yang sudah terbuka kancing-kancingnya dan
memakai rok pendek.
Kemudian dari
balik celana jeans yang kukenakan saat itu, aku merasakan sebuah jari (yang
sangat panjang) mengusap sekujur bibir kemaluanku. Usapan itu terasa begitu
panjang dan lama. Aku sempat menggigil karena terjangan sensasi yang menghambur
dari selangkanganku menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh.
Tanpa pikir
panjang, aku langsung berdiri dan berlari meninggalkan bioskop itu. Aku tidak
mengatakan apa-apa pada Michael. Lagipula ia sedang asik menonton (waktu itu
sedang adegan perang yang terakhir).
Aku melompati dua
anak tangga sekaligus untuk keluar dari ruangan itu. Aku bergegas menuju WC
berharap semua sensasi pada tubuhku dapat hilang seiring dengan menjauhnya
diriku dengan pria itu. Dugaanku salah.
Sepanjang jalan
menuju WC, aku terus merasakan pria itu mengoles-oles jarinya di sepanjang
bibir kemaluan istrinya. Sedikit demi sedikit jarinya semakin masuk lebih
dalam. Cukup sudah, pikirku. Hentikan! Aku tak tahan lagi terhadap gemuruh
birahi dalam tubuhku.
Aku merasa liang
kewanitaanku menjadi agak basah. Aku hampir tidak pernah ‘basah’ di bawah sana
bahkan pada saat sedang berciuman dengan Michael. Paling sesekali aku menjadi
‘basah’ pada saat sedang memberikan ‘hand-job’ pada Michael.
Pintu WC kubuka
dan aku lega karena tidak ada orang di dalamnya. Aku masuk ke salah satu ruang
toilet dan segera menguncinya. Pada saat itulah aku tersentak karena kaget dan
sedikit sakit. Pria itu memasukkan jarinya ke dalam vagina istrinya. Aku merasa
jari itu begitu besar dan panjang seakan menyentuh ujung rahimku. Untuk sesaat
jari itu tidak bergerak di dalam vagina istrinya. Bukan hanya jari itu yang
tidak bergerak, tubuhku juga tidak bergerak karena shock.
Aku merasakan jari
pria itu jelas-jelas menembus liang kewanitaanku yang berarti selaput daraku
sudah sobek. Setelah dapat menguasai diriku kembali, aku segera membuka celana
jeansku untuk melihat apakah ada darah yang keluar dari kemaluanku. Tidak ada.
Tidak ada bercak merah pada celana dalamku. Yang ada hanya cairan bening (agak
putih) yang keluar dari kemaluanku sebagai pelumas.
Tak lama setelah
itu, secara perlahan ia menggerak-gerakkan ujung jarinya seperti sedang
mengorek-ngorek. Kakiku menjadi lemas seakan berubah menjadi agar-agar. Aku
segera duduk di closet untuk menenangkan diri.
Nafasku semakin
memburu. Desahan demi desahan keluar dari mulutku seiring dengan gerakan ujung
jari itu. Seluruh tubuhku terasa panas dan gerah.
Gerakan jari pria
itu sekarang berubah menjadi gerakan maju dan mundur. Gerakannya sangat pelan
namun sensasi gesekan kulit jari pria yang besar itu terasa begitu jelas pada
dinding vaginaku. Seakan jari pria itu benar-benar maju mundur dalam diriku.
Bersamaan dengan
itu, aku mendengar pintu WC dibuka dan terdengar seseorang masuk. Aku menutup
kuat-kuat mulutku sendiri dengan kedua tanganku. Aku tidak ingin orang lain
mendengar aku mendesah-desah di dalam toilet.
Sulit sekali
menghiraukan rangsangan yang begitu hebat yang melanda tubuhku saat itu. Aku
berkali-kali harus menggigit bibir bawahku agar tidak bersuara.
Pria itu sedikit
mempercepat gerakan jarinya namun semakin lama hujaman jarinya itu terasa
semakin mendalam. Pintu WC kembali dibuka. Aku masih menekap mulutku dengan
kedua tanganku sambil mendengar apakah benar orang yang tadi masuk sudah keluar
(atau jangan-jangan ada orang lain lagi yang masuk ke WC).
Setelah memastikan
tidak ada orang lain di dalam WC, aku melepaskan kedua tanganku dari atas
mulutku dan kembali ‘bersuara’. Rupanya pria itu sudah tidak memain-mainkan
payudara istrinya karena aku baru saja merasakan tangan yang satunya memilin
klitoris istrinya. Saat itu pula aku mengerang keras (aku tak peduli lagi
apakah ada yang mendengar).
Luar biasa!
Benar-benar luar biasa! Aku bergetar karena terangsang dan juga malu karena
menikmati semua itu. Jika aku tidak berkeinginan kuat untuk memegang komitmen
menjaga keperawananku sampai menikah, aku benar-benar ingin mencoba berhubungan
sex dengan Michael setelah ini.
Pria itu
menghujamkan jarinya dalam-dalam dan diam tidak bergerak. Lalu ujung jarinya bergetar-getar
kecil. Wow, aku benar-benar dibawa melambung semakin tinggi. Lalu seperti
tiba-tiba, pria itu mengeluarkan jarinya. Dalam hatiku berkecamuk perasaan
antara lega dan kesal karena semua itu kelihatannya sudah berakhir.
Aku terdiam.
Dorongan sexual masih berkobar dalam diriku. Namun aku terus berusaha untuk
menurunkan tekanan dalam diriku itu. Lima menit aku seperti terkulai lemas tak
berdaya duduk di closet sambil mengejap-ngejapkan mataku dan mengatur nafasku
yang menderu-deru.
Pada saat aku
masuk ke bioskop kembali ke tempat dudukku, aku hampir tak berani menatap pria
itu. Dari ujung mataku aku merasa ia memandangi aku dengan senyum penuh
kemenangan. Segera aku duduk dan memeluk lengan pacarku.
Dua puluh menit
kemudian film berakhir. Aku mengajak Michael untuk segera meninggalkan ruangan
itu sehingga tidak perlu bertatapan dengan pria di sebelahku. Michael menurut
saja.
Akhirnya kami
bergabung dengan gerombolan orang-orang yang berdesakan ingin segera keluar
dari bioskop. Pria itu dan istrinya tidak beranjak dari tempat duduknya. Betapa
leganya aku mengetahui semuanya itu sudah berakhir.
Namun sekali lagi
aku salah. Setelah keluar dari ruangan itu, kami tidak langsung pulang (walau
sudah malam). Kami berjalan-jalan di mall. Kebetulan aku hendak membeli kemeja
untuk kerja (maklum aku baru kerja satu bulan).
Sekitar satu jam
setelah keluar dari bioskop, selagi kami berjalan-jalan di R*** (departemen
store), tiba-tiba aku mulai merasakan sensasi seperti tadi di dalam bioskop.
Payudaraku terasa seperti diremas-remas. Kali ini remasan itu terasa pada kedua
payudaraku.
Hatiku mencelos
dan berpikir jangan-jangan pria itu kembali bercumbu dengan istrinya. Namun
kali ini ia melakukannya tanpa ‘foreplay’ terlebih dahulu.
Hanya selang
beberapa menit aku kembali dikuasai oleh birahiku yang meletup-letup. Michael
yang kugandeng sedari tadi belum menyadari perubahan pada diriku.
Namun pada saat
aku merasakan jari pria itu menyentuh kemaluan istrinya, aku terdiam dan
berdiri tegang. Michael tersentak karena aku berhenti secara tiba-tiba. Ia
menanyakan ada apa. Aku belum bisa menjawabnya. Mulutku kelu dan hatiku
berdebar keras. Aku hanya dapat berharap ia tidak mendengar dentum jantungku.
Sepuluh detik
kemudian aku memberi alasan bahwa aku teringat akan suatu hal namun sudah lupa
lagi saat itu. Michael tampaknya mempercayainya.
Jari pria itu
secara perlahan membuka mulut bibir vagina istrinya, aku dapat merasakan tiap
sentuhannya. Dengan sangat amat perlahan jari itu menembus masuk ke dalam liang
kewanitaannya. Aku harus berpegangan erat pada rak (tempat digelarnya baju-baju
obral) agar tidak jatuh. Michael masih tidak memperhatikanku.
Jari itu terasa
begitu besar bahkan terasa lebih sakit dari saat jarinya pertama kali menembus
vaginanya tadi di bioskop. Tiba-tiba aku baru menyadari bahwa yang masuk ke
dalam liang kewanitaannya itu bukanlah jari melainkan penis.
Memikirkan hal itu
membuat jantungku seperti dihempas dari atas gedung lantai 10. Seperti inikah
rasanya bila penis seorang pria menerobos masuk ke dalam diriku. Sakit.
Otot-otot vaginaku terasa seperti akan robek.
Detik-detik
berikutnya sama sekali tidak dapat kuduga bahwa ada sensasi yang begitu nikmat
dalam hidup. Pria itu menggerak-gerakkan penisnya maju mundur. Bersamaan dengan
itu, ia memain-mainkan klitoris istrinya.
Serta merta
lututku langsung terasa hampa dan aku terpuruk jatuh ke lantai seperti boneka
tali yang diputuskan tali penyangganya. Michael panik melihat diriku yang
terjatuh itu, namun tidak sepanik diriku. Beberapa orang di sekitar kami,
memandangi aku dengan pandangan bingung.
Aku berusaha
bangun tapi sensasi kenikmatan itu terus menghantam diriku bertubi-tubi
sehingga semua usahaku sia-sia. Rasa takut dan malu mulai menyelimuti hatiku.
Jangan sampai orang-orang itu tahu apa yang sedang terjadi. Oh Tuhan, apa yang
sedang terjadi pada diriku, aku membatin.
Tiba-tiba aku
teringat sesuatu. Aku mulai berdoa, meminta ampun pada Tuhan dan mohon
pertolonganNya. Sekejap mata semua sensasi itu lenyap musnah.
Michael sudah
berhasil memapah aku untuk berdiri. Aku juga sudah dapat menguasai diri lagi.
Sebelum sempat ia bertanya, aku memberi alasan bahwa aku kurang enak badan dan
minta segera diantar pulang.
Sesampai di rumah
Michael kusuruh segera pulang (karena sudah larut malam). Aku segera masuk ke
dalam kamar dan bersiap tidur. Aku kembali memikirkan apa yang terjadi tadi.
Malam itu aku mendapat pengalaman yang benar-benar tak dapat kulupakan.
Aku tahu aku masih
perawan (secara fisik) namun secara batiniah aku merasa keperawananku telah
direnggut oleh pria itu. Walaupun begitu aku bersyukur tidak terjadi hal-hal
yang lebih buruk tadi. Aku juga berjanji untuk lebih mempertebal imanku
sehingga tidak mudah diguna-guna oleh orang lain.
Anehnya terlintas
sekelebat di benakku agar dapat merasakan kembali apa yang telah aku rasakan di
mall tadi. Apa ruginya, pikirku. Selaput daraku masih utuh namun aku dapat
merasakan nikmatnya berhubungan sex dengan pria. Namun mengingat janjiku kepada
Tuhan barusan, aku membuang jauh-jauh pikiran itu.
Sekarang aku tidak
lagi menilai diriku sebagai wanita frigid. Aku merasa nyaman dengan sexualitas
diriku dan kini aku lebih terbuka akan hal-hal yang berbau sex. Tetapi aku
tetap saja menerapkan sistem berpacaran yang ketat dan konvensional pada
Michael, pacarku.
0 komentar :
Posting Komentar