Namaku Vera. Orang biasa memanggilku dengan Vera
saja. Aku lahir di penghujung tahun 1979 pada sebuah kota terkenal dengan
julukannya kota kembang (kalian tentunya sudah tau dimana itu kota
kembang kan?), Aku telah menikah dengan seorang pria keturunan Jawa bernama Mas
Karmo. Kami dikarunai seorang anak laki-laki yang kulahirkan di akhir tahun
1999. Oh.. iya, aku menikah dengan Mas Karmo pada tahun 1998, bulan April.
Kehidupan kami biasa saja, dari segi ekonomi
sampai hubungan suami istri. Aku dan suamiku cukup menikmati kehidupan ini.
Suamiku yang kalem dan sedikit pendiam adalah seorang pegawai swasta di kotaku
ini. Penghasilan sebulannya cukup untuk menghidupi kami bertiga. Namun kami
belum begitu puas. Walau bagaimana kami harus merasakan lebih bukan hanya
sekedar cukup.
Karena jabatan suamiku sudah tidak mungkin lagi
naik di perusahaannya, untuk menambah penghasilan kami, aku meminta ijin kepada
Mas Karmo untuk bekerja, mengingat pendidikanku sebagai seorang Sekertaris sama
sekali tidak kumanfatkan semenjak aku menikah. Pada dasarnya suamiku itu selalu
menuruti keinginanku, maka tanpa banyak bicara dia mengijinkan aku bekerja,
walaupun aku sendiri belum tahu bekerja di mana, dan perusahaan mana yang akan
menerimaku sebagai seorang Sekertaris, karena aku sudah berkeluarga.
“Bukankah kamu punya
teman yang anak seorang Direktur di sini?” kata suamiku di suatu malam setelah
kami melakukan hubungan badan.
“Iya.. si Yuna, teman kuliah Vera..!” kataku.
“Coba kamu hubungi teman kamu Yuna itu besok. Siapa tahu dia mau menolong kamu..!” katanya lagi.
“Tapi, benar nih.. Mas.. kamu ijinkan saya bekerja..?”
Mas Karmo mengangguk mesra sambil menatapku kembali.
“Iya.. si Yuna, teman kuliah Vera..!” kataku.
“Coba kamu hubungi teman kamu Yuna itu besok. Siapa tahu dia mau menolong kamu..!” katanya lagi.
“Tapi, benar nih.. Mas.. kamu ijinkan saya bekerja..?”
Mas Karmo mengangguk mesra sambil menatapku kembali.
Sambil tersenyum, perlahan dia dekatkan wajahnya
ke wajahku dan mendaratkan bibirnya ke bibirku.
“Terimakasih.. Mas.., mmhh..!” kusambut ciuman
mesranya.
Dan beberapa lama kemudian kami pun mulai
terangsang lagi, dan melanjutkan persetubuhan suami istri untuk babak yang
ketiga. Kenikmatan demi kenikmatan kami raih. Hingga kami lelah dan tanpa sadar
kami pun terlelap menuju alam mimpi kami masing-masing.
Perlu kuceritakan di sini bahwa Deni, anak kami
tidak bersama kami. Dia kutitipkan ke nenek dan kakeknya yang berada di lain
daerah, walaupun masih satu kota. Kedua orangtuaku sangat menyayangi cucunya
ini, karena anakku adalah satu-satunya cucu laki-laki mereka.
Siang itu ketika aku terbangun dari mimpiku, aku
tidak mendapatkan suamiku tidur di sisiku. Aku menengok jam dinding. Rupanya
suamiku sudah berangkat kerja karena jam dinding itu sudah menunjukkan pukul
10.00. Aku teringat akan percakapan kami semalam. Maka sambil mengenakan pakaian
tidurku (tanpa BH dan celana dalam), aku beranjak dari tempat tidur berjalan
menuju ruang tamu rumahku, mengangkat telpon yang ada di meja dan memutar nomor
telpon Yuna, temanku itu.
“Hallo.. ini Yuna..!”
kataku membuka pembicaraan saat kudengar telpon yang kuhubungi terangkat.
“Iya.., siapa nih..?” tanya Yuna.
“Ini.. aku Vera..!”
“Oh Vera.., ada apa..?” tanyanya lagi.
“Boleh nggak sekarang aku ke rumahmu, aku kangen sama kamu nih..!” kataku.
“Silakan.., kebetulan aku libur hari ini..!” jawab Yuna.
“Oke deh.., nanti sebelum makan siang aku ke rumahmu. Masak yang enak ya, biar aku bisa makan di sana..!” kataku sambil sedikit tertawa.
“Sialan luh. Oke deh.., cepetan ke sini.., ditunggu loh..!”
“Oke.., sampai ketemu yaa.. daah..!” kataku sambil menutup gagang telpon itu.
“Iya.., siapa nih..?” tanya Yuna.
“Ini.. aku Vera..!”
“Oh Vera.., ada apa..?” tanyanya lagi.
“Boleh nggak sekarang aku ke rumahmu, aku kangen sama kamu nih..!” kataku.
“Silakan.., kebetulan aku libur hari ini..!” jawab Yuna.
“Oke deh.., nanti sebelum makan siang aku ke rumahmu. Masak yang enak ya, biar aku bisa makan di sana..!” kataku sambil sedikit tertawa.
“Sialan luh. Oke deh.., cepetan ke sini.., ditunggu loh..!”
“Oke.., sampai ketemu yaa.. daah..!” kataku sambil menutup gagang telpon itu.
Setelah menelepon Yuna, aku berjalan menuju
kamar mandi. Di kamar mandi itu aku melepas pakaianku semuanya dan langsung
membersihkan tubuhku. Namun sebelumnya aku bermasturbasi sejenak dengan
memasukkan jariku ke dalam vaginaku sendiri sambil pikiranku menerawang
mengingat kejadian-kejadian yang semalam baru kualami. Membayangkan Kontol
suamiku walau tidak begitu besar namun mampu memberikan kepuasan padaku. Dan
ini merupakan kebiasaanku.
Walaupun aku telah bersuami, namun aku selalu
menutup kenikmatan bersetubuh dengan Mas Karmo dengan bermasturbasi, karena
kadang-kadang bermasturbasi lebih nikmat. Singkat cerita, siang itu aku sudah
berada di depan rumah Yuna yang besar itu. Dan Yuna menyambutku saat aku
mengetuk pintunya.
“Apa khabar Vera..?”
begitu katanya sambil mencium pipiku.
“Seperti yang kamu lihat sekarang ini..!” jawabku.
“Seperti yang kamu lihat sekarang ini..!” jawabku.
Setelah berbasa-basi, Yuna membimbingku masuk ke
ruangan tengah dan mempersilakan aku untuk duduk.
“Sebentar ya.., kamu santailah dahulu, aku ambil
minuman di belakang..” lalu Yuna meninggalkanku.
Aku segera duduk di sofanya yang empuk. Aku
memperhatikan ke sekeliling ruangan ini. Bagus sekali rumahnya, beda dengan
rumahku. Di setiap sudut ruang terdapat hiasan-hiasan yang indah, dan pasti
mahal-mahal. Foto-foto Yuna dan suaminya terpampang di dinding-dinding. Toni
yang dahulu katanya sempat menaksir aku, yang kini adalah suami Yuna, terlihat
semakin ganteng saja. Dalam pikirku berkata, menyesal juga aku acuh tak acuh
terhadapnya dahulu. Coba kalau aku terima cintanya, mungkin aku yang akan
menjadi istrinya.
Sambil terus memandangi foto Toni, suaminya,
terlintas pula dalam ingatanku betapa pada saat kuliah dulu lelaki keturunan
Bali ini mencoba menarik perhatianku (aku, Yuna dan Toni memang satu kampus).
Toni memang di bilang mahasiswa kaya. Dia adalah anak pejabat pemerintahan di
Jakarta. Pada awalnya aku pun tertarik, namun karena aku tidak suka dengan
sifatnya yang sedikit sombong, maka segala perhatiannya padaku tidak
kutanggapi. Aku takut jika tidak cocok dengannya, karena aku orangnya sangat
sederhana.
Lamunannku dikagetkan oleh munculnya Yuna.
Sambil membawa minuman, Yuna berjalan ke arah aku duduk, menaruh dua gelas
sirup dan mempersilakanku untuk minum.
“Ayo Ver, diminum dulu..!” katanya.
Aku mengambil sirup itu dan meminumnya. Beberapa
teguk aku minum sampai rasa dahaga yang sejak tadi terasa hilang, aku kembali
menaruh gelas itu.
“Oh iya, Mas Toni ke
mana?” tanyaku.
“Biasa.. Bisnis dia,” kata Yuna sambil menaruh gelasnya. “Sebentar lagi juga pulang. Sudah kutelpon koq dia, katanya dia juga kangen sama kamu..!” ujarnya lagi.
“Biasa.. Bisnis dia,” kata Yuna sambil menaruh gelasnya. “Sebentar lagi juga pulang. Sudah kutelpon koq dia, katanya dia juga kangen sama kamu..!” ujarnya lagi.
Yuna memang sampai sekarang belum mengetahui
kalau suaminya dahulu pernah naksir aku. Tapi mungkin juga Toni sudah
memberitahukannya.
“Kamu menginap yah.. di
sini..!” kata Yuna.
“Akh.. enggak ah, tidak enak khan..!” kataku.
“Loh.. nggak enak gimana, kita kan sahabat. Toni pun kenal kamu. Lagian aku sudah mempersiapkan kamar untukmu, dan aku pun sedang ambil cuti koq, jadi temani aku ya.., oke..!” katanya.
“Kasihan Mas Karmo nanti sendirian..!” kataku.
“Aah.. Mas Karmo khan selalu menurut keinginanmu, bilang saja kamu mau menginap sehari di sini menemani aku. Apa harus aku yang bicara padanya..?”
“Oke deh kalau begitu.., aku pinjam telponmu ya..!” kataku.
“Tuh di sana..!” kata Yuna sambil menujuk ke arah telepon.
“Akh.. enggak ah, tidak enak khan..!” kataku.
“Loh.. nggak enak gimana, kita kan sahabat. Toni pun kenal kamu. Lagian aku sudah mempersiapkan kamar untukmu, dan aku pun sedang ambil cuti koq, jadi temani aku ya.., oke..!” katanya.
“Kasihan Mas Karmo nanti sendirian..!” kataku.
“Aah.. Mas Karmo khan selalu menurut keinginanmu, bilang saja kamu mau menginap sehari di sini menemani aku. Apa harus aku yang bicara padanya..?”
“Oke deh kalau begitu.., aku pinjam telponmu ya..!” kataku.
“Tuh di sana..!” kata Yuna sambil menujuk ke arah telepon.
Aku segera memutar nomor telpon kantor suamiku.
Dengan sedikit berbohong, aku minta ijin untuk menginap di rumah Yuna. Dan
menganjurkan Mas Karmo untuk tidur di rumah orangtuaku. Seperti biasa Mas Karmo
mengijinkan keinginanku. Dan setelah basa-basi dengan suamiku, segera kututup
gagang telpon itu.
“Beres..!” kataku sambil
kembali duduk di sofa ruang tamu.
“Nah.., gitu dong..! Ayo kutunjukkan kamarmu..!” katanya sambil membimbingku.
“Nah.., gitu dong..! Ayo kutunjukkan kamarmu..!” katanya sambil membimbingku.
Di belakang Yuna aku mengikuti langkahnya. Dari
belakang itu juga aku memperhatikan tubuh montoknya. Yuna tidak berubah sejak
dahulu. Pantatnya yang terbungkus celana jeans pendek yang ketat
melenggak-lenggok. Pinggulnya yang ramping sungguh indah, membuatku iseng
mencubit pantat itu.
“Kamu masih montok saja,
Yan..!” kataku sambil mencubit pantatnya.
“Aw.., akh.. kamu. Kamu juga masih seksi saja. Bisa-bisa Mas Toni nanti naksir kamu..!” katanya sambil mencubit Payudara ku.Kami tertawa cekikikan sampai kamar yang dipersiapkan untukku sudah di depan mataku.
“Nah ini kamarmu nanti..!” kata Yuna sambil membuka pintu kamar itu.
“Aw.., akh.. kamu. Kamu juga masih seksi saja. Bisa-bisa Mas Toni nanti naksir kamu..!” katanya sambil mencubit Payudara ku.Kami tertawa cekikikan sampai kamar yang dipersiapkan untukku sudah di depan mataku.
“Nah ini kamarmu nanti..!” kata Yuna sambil membuka pintu kamar itu.
Besar sekali kamar itu. Indah dengan hiasan
interior yang berseni tinggi. Ranjangnya yang besar dengan seprei yang terbuat
dari kain beludru warna biru, menghiasi ruangan ini. Lemari pakaian berukiran
ala Bali juga menghiasi kamar, sehingga aku yakin setiap tamu yang menginap di
sini akan merasa betah.
Akhirnya di kamar itu sambil merebahkan diri,
kami mengobrol apa saja. Dari pengalaman-pengalaman dahulu hingga kejadian kami
masing-masing. Kami saling bercerita tentang keluhan-keluhan kami selama ini.
Aku pun bercerita panjang mulai dari perkawinanku sampai sedetil-detilnya,
bahkan aku bercerita tentang hubungan bercinta antara aku dan suamiku. Kadang
kami tertawa, kadang kami serius saling mendengarkan dan bercerita. Hingga
pembicaraan serius mulai kucurahkan pada sahabatku ini, bahwa aku ingin bekerja
di perusahan bapaknya yang direktur.
“Gampang itu..!” kata Yuna. “Aku tinggal
menghubungi Papa nanti di Jakarta. Kamu pasti langsung diberi pekerjaan. Papaku
kan tahu kalau kamu adalah satu-satunya sahabatku di dunia ini..” lanjutnya
sambil tertawa lepas.
Tentu saja aku senang dengan apa yang
dibicarakan oleh Yuna, dan kami pun meneruskan obrolan kami selain obrolan yang
serius barusan.Tanpa terasa, di luar sudah gelap. Aku pun minta ijin ke Yuna
untuk mandi. Tapi Yuna malah mengajakku mandi bersama. Dan aku tidak
menolaknya. Karena aku berpikir toh sama-sama wanita.Sungguh di luar dugaan, di
kamar mandi ketika kami sama-sama telanjang bulat, Yuna memberikan sesuatu hal
yang sama sekali tidak terpikirkan.
Sebelum air yang hangat itu membanjiri tubuh
kami, Yuna memelukku sambil tidak henti-hentinya memuji keindahan tubuhku.
Semula aku risih, namun rasa risih itu hilang oleh perasaan yang lain yang
telah menjalar di sekujur tubuh. Sentuhan-sentuhan tangannya ke sekujur tubuhku
membuatku nikmat dan tidak kuasa aku menolaknya. Apalagi ketika Yuna menyentuh
bagian tubuhku yang sensitif.
Kelembutan tubuh Yuna yang memelukku membuatku
merinding begitu rupa. Payudara ku dan buah dadanya saling beradu. Sementara
bulu-bulu lebat yang berada di bawah perut Yuna terasa halus menyentuh daerah
bawah perutku yang juga ditumbuhi bulu-bulu. Namun bulu-bulu Memek ku tidak
selebat miliknya, sehingga terasa sekali kelembutan itu ketika Yuna
menggoyangkan pinggulnya.
Karena suasana yang demikian, aku pun menikmati
segala apa yang dia lakukan. Kami benar-benar melupakan bahwa kami sama-sama
perempuan. Perasaan itu hilang akibat kenikmatan yang terus mengaliri tubuh.
Dan pada akhirnya kami saling berpandangan, saling tersenyum, dan mulut kami
pun saling berciuman.
Kedua tanganku yang semuala tidak bergerak kini
mulai melingkar di tubuhnya. Tanganku menelusuri punggungnya yang halus dari
atas sampai ke bawah dan terhenti di bagian buah pantatnya. Buah pantat yang
kencang itu secara refleks kuremas-remas. Tangan Yuna pun demikian, dengan
lembut dia pun meremas-remas pantatku, membuatku semakin naik dan terbawa arus
suasana. Semakin aku mencium bibirnya dengan bernafsu, dibalasnya ciumanku itu
dengan bernafsu pula.
Hingga suatu saat ketika Yuna melepas ciuman
bibirnya, lalu mulai menciumi leherku dan semakin turun ke bawah, bibirnya kini
menemukan Payudara ku yang mengeras. Tanpa berkata-kata sambil sejenak melirik
padaku, Yuna menciumi dua bukit payudaraku secar bergantian. Napasku mulai
memburu hingga akhirnya aku menjerit kecil ketika bibir itu menghisap puting
susuku. Dan sungguh aku menikmati semuanya, karena baru pertama kali ini aku
diciumi oleh seorang wanita.
“Akh.., Yunaaaaaa..,
oh..!” jerit kecilku sedikit menggema.
“Kenapa Ver.., enak ya..!” katanya di sela-sela menghisap putingku.
“Iya.., oh.., enaaks.. teruus..!” kataku sambil menekan kepalanya.
“Kenapa Ver.., enak ya..!” katanya di sela-sela menghisap putingku.
“Iya.., oh.., enaaks.. teruus..!” kataku sambil menekan kepalanya.
Diberi semangat begitu, Yuna semakin gencar
menghisap-hisap putingku, namun tetap lembut dan mesra. Tangan kirinya menahan
tubuhku di punggung.
Sementara tangan kanannya turun ke bawah menuju
Memek ku. Aku teringat akan suamiku yang sering melakukan hal serupa, namun
perbedaannya terasa sekali, Yuna sangat lembut memanjakan tubuhku ini, mungkin
karena dia juga wanita. Setelah tangan itu berada di Memek ku, dengan lembut
sekali dia membelainya. Jarinya sesekali menggesek kelentitku yang masih
tersembunyi, maka aku segera membuka pahaku sedikit agar kelentitku yang terasa
mengeras itu leluasa keluar.
Ketika jari itu menyentuh kelentitku yang
mengeras, semakin asyik Yuna memainkan kelentitku itu, sehingga aku semakin
tidak dapat mengendalikan tubuhku. Aku menggelinjang hebat ketika rasa geli
campur nikmat menjamah tubuhku. Pori-poriku sudah mengeluarkan keringat dingin,
di dalam liang vaginaku sudah terasa ada cairan hangat yang mengalir perlahan,
pertanda rangsangan yang sungguh membuatku menjadi nikmat.
Ketika tanganku menekan bagian atas kepalanya,
bibir Yuna yang menghisap kedua putingku secara bergantian segera berhenti. Ada
keinginan pada diriku dan Yuna mengerti akan keinginanku itu. Namun sebelumnya,
kembali dia pada posisi wajahnya di depan wajahku. Tersungging senyuman yang
manis.
“Ingin yang lebih ya..?” kata Yuna.
Sambil tersenyum aku mengangguk pelan. Tubuhku
diangkatnya dan aku duduk di ujung bak mandi yang terbuat dari porselen.
Setelah aku memposisikan sedemikian rupa, tangan Yuna dengan cekatan membuka
kedua pahaku lebar-lebar, maka vaginaku kini terkuak bebas. Dengan posisi
berlutut, Yuna mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Aku menunggu
perlakuannya dengan jantung yang berdebar kencang.
Napasku turun naik, dadaku terasa panas, begitu
pula vaginaku yang terlihat pada cermin yang terletak di depanku sudah
mengkilat akibat basah, terasa hangat. Namun rasa hangat itu disejukkan oleh
angin yang keluar dari kedua lubang hidung Yuna. Tangan Yuna kembali membelai
vaginaku, menguakkan belahannya untuk menyentuh kelentitku yang semakin
menegang.
Agak lama Yuna
membelai-belai Memek ku itu yang sekaligus mempermainkan kelentitku. Sementara
mulutnya menciumi pusar dan sekitarnya. Tentu saja aku menjadi kegelian dan
sedikit tertawa. Namun Yuna terus saja melakukan itu. Hingga pada suatu saat,
“Eiist.. aakh.. aawh.. Yhunaaaaa.. akh.. mmhh.. ssh..!” begitu suara yang
keluar dari mulutku tanpa disadari, ketika mulutnya semakin turun dan mencium
vaginaku.
Kedua tangan Yuna memegangi pinggul dan pantatku menahan gerakanku yang menggelinjang nikmat.
Kedua tangan Yuna memegangi pinggul dan pantatku menahan gerakanku yang menggelinjang nikmat.
Kini ujung lidahnya yang menyentuh kelentitku.
Betapa pintar dia mempermainkan ujung lidah itu pada daging kecilku, sampai aku
kembali tidak sadar berteriak ketika cairan di dalam vaginaku mengalir keluar.
“Oohh.. Yuna.. ennaakss.. sekaalii..!” begitu
teriakku.
Aku mulai menggoyangkan pinggulku, memancing
nikmat yang lebih. Yuna masih pada posisinya, hanya sekarang yang dijilati
bukan hanya kelentitku tapi lubang vaginaku yang panas itu. Tubuhku bergetar
begitu hebat. Gerakan tubuhku mulai tidak karuan. Hingga beberapa menit
kemudian, ketika terasa orgasmeku mulai memuncak, tanganku memegang bagian
belakang kepalanya dan mendorongnya. Karuan saja wajah Yuna semakin terpendam
di selangkanganku.
“Hissapp.. Yuna..!
Ooh.., aku.. akuu.. mau.. keluaar..!” jeritku.
Yuna berhenti menjilat kelentitku, kini dia mencium dan menghisap kuat lubang Memek ku.
Maka.., “YUNAAAAAAAA.., aku.. keluaar..! Oh.., aku.. keluar… ssh..!” bersamaan dengan teriakku itu, maka aku pun mencapai orgasme.
Yuna berhenti menjilat kelentitku, kini dia mencium dan menghisap kuat lubang Memek ku.
Maka.., “YUNAAAAAAAA.., aku.. keluaar..! Oh.., aku.. keluar… ssh..!” bersamaan dengan teriakku itu, maka aku pun mencapai orgasme.
Sekujur jiwaku seakan melayang entah kelangit keberapa. Wajahku menengadah dengan mata merem melek merasakan bermilayaran sel-sel ditubuhku bereaksi merasakan nikmat yang sekian detik mendera tubuh ini, hingga akhirnya aku melemas dan kembali pada posisi duduk. Maka Yuna pun melepas hisapannya pada vaginaku.
Dia berdiri, mendekatkan wajahnya ke hadapan
wajahku, dan kembali dia mencium bibirku yang terbuka. Napasku yang
tersengal-sengal disumbat oleh mulut Yuna yang menciumku. Kubalas ciuman
mesranya itu setelah tubuhku mulai tenang.
“Terimakasih Yuna.., enak sekali barusan..!”
kataku sambil tersenyum. Yuna pun membalas senyumanku. Dia membantuku turun
dari atas bak mandi itu.
“Kamu mau nggak dikeluarin..?” kataku lagi.
“Nanti sajalah.., lagian udah gatel nih badanku.
Sekarang mending kita mandi..!” jawabnya sambil menyalakan shower.
Akhirnya kusetujui usul itu, sebab badanku masih
lemas akibat serangan birahi tadi. Dan rupanya Yuna tahu kalau aku kurang
bertenaga, maka aku pun dimandikannya, disabuni, diperlakukan layaknya seorang
anak kecil. Aku hanya tertawa kecil. Iseng-iseng kami pun saling menyentuh
bagian tubuh kami masing-masing. Begitupula sebaliknya, ketika giliran Yuna
yang mandi, aku lah yang menyabuni tubuhnya.
Setelah selesai mandi, kami pun keluar dari
kamar mandi itu secara bersamaan. Sambil berpelukan, pundak kami hanya memakai
handuk yang menutup tubuh kami dari dada sampai pangkal paha, dan sama sekali
tidak mengenakan dalaman. Aku berjalan menuju kamarku sedang Yuna menuju
kamarnya sendiri. Di dalam kamar aku tidak langsung mengenakan baju. Aku masih
membayangkan kejadian barusan. Seolah-olah rasa nikmat tadi masih mengikutiku.
Di depan cermin, kubuka kain handuk yang
menutupi tubuhku. Handuk itu jatuh terjuntai ke lantai, dan aku mulai
memperhatikan tubuh telanjangku sendiri. Ada kebanggaan dalam hatiku. Setelah
tadi melihat tubuh telanjang Yuna yang indah, ternyata tubuhku lebih indah.
Yuna memang seksi, hanya dia terlalu ramping sehingga sepintas tubuhnya itu
terlihat kurus. Sedangkan tubuhku agak montok namun tidak terkesan gemuk.
Entah keturunan atau tidak, memang demikianlah keadaan tubuhku. Kedua payudaraku berukuran 34B dengan puting yang mencuat ke atas, padahal aku pernah menyusui anakku. Sedangkan payudara Yuna berukuran 32 tapi juga dengan puting yang mencuat ke atas juga. Kuputar tubuhku setengah putaran. Kuperhatikan belahan pantatku. Bukit pantatku masih kencang, namun sudah agak turun, karena aku pernah melahirkan. Berbeda dengan pantat milik Yuna yang masih seperti pantat gadis perawan, seperti pantat bebek.
Kalau kuperhatikan dari pinggir tubuhku, nampak
perutku yang ramping. Vaginaku nampak menonjol keluar. Bulu-bulu Memek ku tidak
lebat, walaupun pernah kucukur pada saat aku melahirkan. Padahal kedua tangan
dan kedua kakiku tumbuh bulu-bulu tipis, tapi pertumbuhan bulu Memek ku rupanya
sudah maksimal. Lain halnya dengan Yuna, walaupun perutnya lebih ramping
dibanding aku, namun kemaluannya tidak menonjol alias rata. Dan daerah itu
ditumbuhi bulu-bulu yang lebat namun tertata rapi.
Setelah puas memperhatikan tubuhku sendiri
(sambil membandingkan dengan tubuh Yuna), aku pun membuka tasku dan mengambil
celana dalam dan Bra-ku. Kemudian kukenakan kedua pakaian rahasiaku itu setelah
sekujur tubuhku kulumuri bedak. Namun aku agak sedikit kaget dengan teriakan
Yuna dari kamarnya yang tidak begitu jauh dari kamar ini.
“Vera..! Ini baju tidurmu..!” begitu teriaknya.
Maka aku pun mengambil handuk yang berada di
lantai. Sambil berjalan kukenakan handuk itu menutupi tubuhku seperti tadi,
lalu keluar menuju kamarnya yang hanya beberapa langkah. Pintu kamarnya
ternyata tidak dikunci. Karena mungkin Yuna tahu kedatanganku, maka dia
mempersilakan aku masuk.
“Masuk sini Ver..!” kataya dari dalam kamar.
Kudorong daun pintu kamarnya. Aku melihat di
dalam kamar itu tubuh Yuna yang telanjang merebah di atas kasur. Tersungging
senyuman di bibirnya. Karena aku sudah melangkah masuk, maka kuhampiri tubuh
telanjang itu.
“Kamu belum pake baju, Yun..?” kataku sambil
duduk di tepi ranjang.
“Akh.., gampang.. tinggal pake itu, tuh..!” kata
Yuna sambil tangannya menunjuk tumpukan gaun tidur yang berada di ujung
ranjang.
Lalu dia berkata lagi, “Kamu sudah pake daleman,
ya..?”
Aku mengangguk, “Iya..!” Kuperhatikan dadanya
turun naik. Napasnya terdengar memburu. Apakah dia sedang bernafsu sekarang..,
entahlah.
Lalu tangan Yuna mencoba meraihku. Sejenak dia
membelai tubuhku yang terbungkus handuk itu sambil berkata, “Kamu mengairahkan
sekali memakai ini..!”
“Akh.., masa sih..!” kataku sambil tersenyum dan
sedikit menggeser tubuhku lebih mendekat ke tubuh Yuna.
“Benar.., kalo nggak percaya.., emm.. kalo nggak
percaya..!” kata Yuna sedikit menahan kata-katanya.
“Kalo nggak percaya apa..?” tanyaku.
“Kalo nggak percaya..!” sejenak matanya melirik
ke arah belakangku.
“Kalo nggak percaya tanya saja sama orang di
belakangmu.. hi.. hi..!” katanya lagi.
Segera aku memalingkan wajahku ke arah
belakangku. Dan.., (hampir saja aku teriak kalau mulutku tidak buru-buru
kututup oleh tanganku), dengan jelas sekali di belakangku berdiri tubuh lelaki
dengan hanya mengenakan celana dalam berwarna putih yang tidak lain adalah Mas
Toni suami Yuna itu. Dengan refleks karena kaget aku langsung berdiri dan
bermaksud lari dari ruangan ini. Namun tangan Yuna lebih cepat menangkap
tanganku lalu menarikku sehingga aku pun terjatuh dengan posisi duduk lagi di
ranjang yang empuk itu.
“Mau kemana.. Vera.., udah di sini temani
aku..!” kata Yuna setengah berbisik.
Aku tidak sempat berkata-kata ketika Mas Toni
mulai bergerak berjalan menuju aku. Dadaku mulai berdebar-debar. Ada perasaan
malu di dalam hatiku.
“Halo.., Vera. Lama tidak bertemu ya..” suara
Mas Toni menggema di ruangan itu. Tangannya mendarat di pundakku, dan lama
bertengger di situ.
Aku yang gelagapan tentu saja semakin gelagapan.
Namun ketika tangan Yuna dilepaskan dari cengkramannya, pada saat itu tidak ada
keinginanku untuk menghindar. Tubuhku terasa kaku, sama sekali aku tidak dapat
bergerak. Lidahku pun terasa kelu, namun beberapa saat aku memaksa bibirku
berkata-kata.
“Apa-apaan ini..?” tanyaku parau sambil melihat
ke arah Yuna.
Sementara tangan yang tadi bertengger di bahuku
mulai bergerak membelai-belai. Serr.., tubuhku mulai merinding. Terasa
bulu-bulu halus di tangan dan kaki berdiri tegak.
Rupanya Sentuhan tangan Mas Toni mampu
membangkitkan birahiku kembali. Apalagi ketika terasa di bahuku yang sebelah
kiri juga didarati oleh tangan Mas Toni yang satunya lagi. Perasaan malu yang
tadi segera sirna. Tubuhku semakin merinding. Mataku tanpa sadar terpejam
menikmati dalam-dalam sentuhan tangan Mas Toni di bahuku itu.
Pijatan-pijatan kecil di bahuku terasa nyaman
dan enak sekali. Aku begitu menikmati apa yang terasa. Hingga beberapa saat
kemudian tubuhku melemas. Kepalaku mulai tertahan oleh perut Mas Toni yang
masih berada di belakangku. Sejenak aku membuka mataku, nampak Yuna membelai
vaginanya sendiri dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya meremas
pelan kedua payudaranya secara bergantian. Tersungging senyuman di bibirnya.
“Nikmati Vera..! Nikmati apa yang kamu sekarang
rasakan..!” suara Yuna masih sedikit membisik.
Aku masih terbuai oleh sentuhan kedua tangan Mas
Toni yang mulai mendarat di daerah atas payudarara yang tidak tertutup. Mataku
masih terpejam.
“Ini.. kan yang kamu inginkan. Kupinjamkan
suamiku..!” kata Yuna lagi.
Mataku terbuka dan kembali memperhatikan Yuna
yang masih dengan posisinya.
“Ayo Mas..! Nikmati Vera yang pernah kamu taksir
dulu..!” kata Yuna lagi.
“Tentu saja Sayang.., asal.. kamu ijinkan..!”
kata suara berat Mas Toni.
Tubuhnya dibungkukkan. Kemudian wajahnya
ditempelkan di bagian atas kepalaku. Terasa bibirnya mencium mesra daerah itu.
Kembali aku memejamkan mata. Bulu-buluku semakin keras berdiri. Sentuhan lembut
tangan Mas Toni benar-benar nikmat. Sangat pintar sekali sentuhan itu memancing
gairahku untuk bangkit. Apalagi ketika tangan Mas Toni sebelah kanan berusaha
membuka kain handuk yang masih menutupi tubuhku itu.
“Oh.., Mas.., Maas.. jangaan.. Mas..!” aku hanya
dapat berkata begitu tanpa kuasa menahan tindakan Mas Toni yang telah berhasil
membuka handuk dan membuangnya jauh-jauh.
Tinggallah tubuh setengah bugilku. Kini gairahku
sudah memuncak dan aku mulai lupa dengan keadaanku. Aku sudah terbius
suasana. Mas Toni mulai berlutut, namun masih pada posisi di belakangku.
Kembali dia membelai seluruh tubuhku. Dari punggungku, lalu ke perut, naik ke atas,
leherku pun kena giliran disentuhnya, dan aku mendesah nikmat ketika leherku
mulai dicium mesra oleh Mas Toni. Sementara desahan-desahan kecil terdengar
dari mulut Yuna.
Aku melirik sejenak ke arah Yuna, rupanya dia
sedang masturbasi. Lalu aku memejamkan mata lagi, kepalaku kutengadahkan
memberikan ruangan pada leherku untuk diciumi Mas Toni. Persaanku sudah tidak
malu-malu lagi, aku sudah kepalang basah. Aku lupa bahwa aku telah bersuami,
dan aku benar-benar akan merasakan apa yang akan kurasakan nanti, dengan lelaki
yang bukan suamiku.
“Buka ya.. BH-nya, Vera..!” kata Mas Toni sambil
melepas kancing tali BH-ku dari punggung.
Beberapa detik BH itu terlepas, maka terasa
bebas kedua payudaraku yang sejak tadi tertekan karena mengeras. Suara Yuna
semakin keras, rupanya dia mencapai orgasmenya. Kembali aku melirik Yuna yang
membenamkan jari manis dan jari telunjuknya ke dalam vaginanya sendiri. Nampak
dia mengejang dengan mengangkat pinggulnya.
“Akh.., nikmaats.. ooh.. nikmaatts.. sekalii..!”
begitu kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Dan tidak lama kemudian dia terkulai lemas di
ranjang itu. Sementara Mas Toni sibuk dengan kegiatannya.
Kini kedua payudaraku sudah diremasi dengan
mesra oleh kedua telapak tangannya dari belakang. Sambil terus bibirnya
menjilati inci demi inci kulit leherku seluruhnya. Sedang enak-enaknya aku,
tiba-tiba ada yang menarik celana dalamku. Aku membuka mataku, rupanya Yuna
berusaha untuk melepas celana dalamku itu. Maka kuangkat pantatku sejenak
memudahkan celana dalamku dilepas oleh Yuna. Maka setelah lepas, celana dalam
itu juga dibuang jauh-jauh oleh Yuna.
Aku menggeser posisi dudukku menuju ke bagian
tengah ranjang itu. Mas Toni mengikuti gerakanku masih dari belakang, sekarang
dia tidak berlutut, namun duduk tepat di belakang tubuhku. Kedua kakinya
diselonjorkan, maka pantatku kini berada di antara selangkangan milik Mas Toni.
Terasa oleh pantatku ada tonjolan keras di selangkangan. Rupanya Kontol Mas
Toni sudah tegang maksimal.
Lalu Yuna membuka lebar-lebar pahaku, sehingga
kakiku berada di atas paha Mas Toni. Lalu dengan posisi tidur telungkup, Yuna
mendekatkan wajahnya ke selangkanganku, dan apa yang terjadi..
“Awwh.. ooh.. eeisth.. aakh..!” aku menjerit
nikmat ketika kembali kurasakan lidahnya menyapu-nyapu belahan vaginaku, terasa
kelentitku semakin menegang, dan aku tidak dapat mengendalikan diri akibat
nikmat, geli, enak, dan lain sebagainya menyatu di tubuhku.
Kembali kepalaku menengadah sambil mulutku
terbuka. Maka Mas Toni tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia tahu maksudku.
Dari belakang, bibirnya langsung melumat bibirku yang terbuka itu dengan
nafsunya. Maka kubalas ciuman itu dengan nafsu pula. Dia menyedot, aku menyedot
pula. Terjadilah pertukaran air liur Mas Toni dengan air liurku. Terciuma aroma
rokok pada mulutnya, namun aroma itu tidak mengganggu kenikmatan ini.
Kedua tangan Mas Toni semakin keras meremas
kedua payudaraku, namun menimbulkan nikmat yang teramat, sementara di bawah
Yuna semakin mengasyikkan. Dia terus menjilat dan mencium vaginaku yang telah
banjir. Banjir oleh cairan pelicin vaginaku dan air liur Yuna.
“Mmmhh.. akh.. mmhh..!” bibirku masih dilumati
oleh bibir Mas Toni.
Tubuhku semakin panas dan mulai memberikan
tanda-tanda bahwa aku akan mencapai puncak kenikmatan yang kutuju. Pada
akhirnya, ketika remasan pada payudaraku itu semakin keras, dan Yuna menjilat,
mencium dan menghisap vaginaku semakin liar, tubuhku menegang kaku, keringat
dingin bercucuran dan mereka tahu bahwa aku sedang menikmati orgasmeku. Aku
mengangkat pinggulku, otomatis ciuman Yuna terlepas. Semakin orgasmeku terasa
ketika jari telujuk dan jari manis Yuna dimasukkan ke liang vaginaku, kemudian
dicabutnya setengah, lalu dimasukkan lagi.
Perlakuan Yuna itu berulang-ulang, yaitu
mengeluar-masukkan kedua jarinya ke dalam lubang vaginaku. Tidak dapat
diungkapkan dengan kata-kata betapa nikmat dan enak pada saat itu.
“Aakh.. aawhh.. nikmaatss.. terus.. Yuna.. ooh..
yang cepaat.. akh..!” teriakku.
Tubuh Mas Toni menahan tubuhku yang mengejang
itu. Jarinya memilin-milin puting susuku. Bibirnya mengulum telingaku sambil
membisikkan sesuatu yang membuatku semakin melayang. Bisikan-bisikan yang
memujiku itu tidak pernah kudengar dari Mas Karmo, suamiku.
“Ayo cantik..! Nikmatilah orgasmemu.., jangan
kamu tahan, keluarkan semuanya Sayang..! Nikmatilah.., nikmatilah..! Oh.., kamu
cantik sekali jika orgasme..!” begitu bisikan yang keluar dari mulut Mas Toni
sambil terus mengulum telingaku.
“Aakh.. Maass, aduh.. Yuna.., nikmaats.. oh..
enaaks.. sekali..!” teriakku.
Akhirnya tubuh kejangku mulai mengendur, diikuti
dengan turunnya kenikmatan orgasmeku itu. Perlahan sekali tubuhku turun dan
akhirnya terkulai lemas di pangkuan Mas Toni. Lalu tubuh Yuna mendekapku. Dia
berbisik padaku, “Ini.. belum seberapanya Sayaang.., nanti akan kamu rasakan
punya suamiku..!” sambil berkata demikian dia mencium keningku. Mas Toni
beranjak dari duduknya dan berjalan entah ke arah mana, karena pada saat itu
mataku masih terpenjam seakan enggan terbuka.
Entah berapa lama aku terlelap. Ketika kusadar,
kubuka mataku perlahan dan mencari-cari Yuna dan Mas Toni sejenak. Mereka tidak
ada di kamar ini, dan rupanya mereka membiarkanku tertidur sendiri. Aku
menengok jam dinding. Sudah pukul sepuluh malam. Segera aku bangkit dari posisi
tidurku, lalu berjalan menuju pintu kamar. Telingaku mendengar alunan suara
musik klasik yang berasal dari ruangan tamu. Dan ketika kubuka pintu kamar itu
yang kebetulan bersebelahan dengan ruang tamu, mataku menemukan suatu adegan
dimana Yuna dan suaminya sedang melakukan ngentot.
Yuna dengan posisi menelentang di sofa sedang
ditindih oleh Mas Toni dari atas. Terlihat tubuh Mas Toni sedang naik turun.
Segera mataku kutujukan pada selangkangan mereka. Jelas terlihat Kontol Mas
Toni yang berkilat sedang keluar masuk di memek Yuna. Terdengar pula
erangan-erangan yang keluar dari mulut Yuna yang sedang menikmati hujaman
Kontol itu di vaginanya, membuat tubuhku perlahan memanas. Segera saja
kuhampiri mereka dan duduk tepat di depan tubuh mereka.
Di sela-sela kenikmatan, Yuna menatapku dan
tersenyum. Rupanya Mas Toni memperhatikan istrinya dan sejenak dia menghentikan
gerakannya dan menengok ke belakang, ke arahku.
“Akh.. Mas.., jangan berhentii doong..! Oh..!”
kata Yuna.
Dan Mas Toni kembali berkonsentrasi lagi dengan
kegiatannya. Kembali terdengar desahan-desahan nikmat Yuna yang membahana ke
seluruh ruangan tamu itu. Aku kembali gelagapan, kembali resah dan tubuhku
semakin panas. Dengan refleks tanganku membelai vaginaku sendiri.
“Oh.. Veraa.., nikmat sekaallii.. loh..! Akuu..
ooh.. mmh..!” kata Yuna kepadaku.
Aku melihat wajah nikmat Yuna yang begitu
cantik. Kepalannya kadang mendongak ke atas, matanya terpejam-pejam. Sesekali dia
gigit bibir bawahnya. Kedua tangannya melingkar pada pantat suaminya, dan
menarik-narik pantat itu dengan keras sekali. Aku melihat Kontol Mas Toni yang
besar itu semakin amblas di vagina Yuna. Samakin mengkilat saja Kontol itu.
“Oh beib.., aku hampiir sampaaii..! Teruus.. beib.. terus..! Lebih extrim lagi.., ooalaaaaaaaahhhhh.. akh..!” Yuna meracau dan semakin liar.
Yuna mengangkat tinggi-tinggi pinggulnya, Mas
Toni terus dengan gerakannya menaik-turunkan tubuhnya dalam kondisi push-up.
“Beiiibbbbbbhh.., Yunaaaaaa.. yun…
yunaaaaa…. sampeeeeee..! Aakh..tidaaaaaaaakk..nikmaaaattttt…. oooohhh..,
mmh..!” kata Yuna lagi dengan tubuh yang mengejang liar dengan mata terpejam
dan kadang membelalak seperti orang yang hendak sekarat.
Rupanya Yuna mencapai orgasmenya. Tangannya yang
tadi melingkar di pantat suaminya, kini berpindah melingkar di punggung. Mas
Toni berhenti bergerak dan membiarkan Kontol itu menancap dalam di lubang
kemaluan Yuna.
“Owhh.. banyak sekali Sayang.. keluarnya. Hangat
sekali memekmu..!” kata Mas Toni sambil menciumi wajah istrinya.
Dapat kubayangkan perasaan Yuna pada saat itu.
Betapa nikmatnya dia. Dan aku pun belingsatan dengan merubah-rubah posisi
dudukku di depan mereka. Beberapa saat kemudian, Yuna mulai melemas dari
kejangnya dan merubah posisinya. Segera dia turun dari sofa ketika Mas Toni
mencabut Kontol dari lubang kenikmatan itu. Aku melihat dengan jelas betapa
besar dan panjang Kontol Mas Toni. Dan ini baru pertama kali aku melihatnya,
karena waktu tadi di dalam kamar, Mas Toni masih menutupi Kontolnya dengan
celana dalam.
Dengan segera Yuna menungging. Lalu segera pula
Mas Toni berlutut di depan pantat itu.
“Giliranmu.. ku keluarkan beib! Ayoo..!” kata
Yuna.
Tangan Mas Toni menggenggam Kontol itu dan
mengarahkan langsung ke lubang vagina Yuna. Segera dia menekan pantatnya dan
melesaklah Kontol itu ke dalam vagina istrinya, diikuti dengan lenguhan Yuna
yang sedikit tertahan.
“Owwh.. Maas.. aakh..!”
“Aduuh.. Yuna.., jepit Sayangh..!” kata Mas
Toni.
Lalu kaki Yuna dirapatkan sedemikian rupa. Dan
segera pantat Mas Toni mulai mundur dan maju.Ufh.., pemandangan yang begitu
indah yang kulihat sekarang. Baru kali ini aku menyaksikan sepasang manusia
bersetubuh tepat di depanku secara langsung. Semakin mereka mempercepat tempo
gerakannya, semakin aku terangsang begitu rupa. Tanganku yang tadi hanya
membelai-belai vaginaku, kini mulai menyentuh kelentitku.
Kenikmatan mulai mengaliri tubuhku dan semakin
aku tidak tahan, sehingga aku memasukkan jariku ke dalam vaginaku sendiri. Aku
sendiri sangat menikmati masturbasiku tanpa lepas pandanganku pada mereka.
Belum lagi telingaku jelas mendengar desahan dan rintihan Yuna, aku dapat
membayangkan apa yang dirasakan Yuna dan aku sangat ingin sekali merasakannya,
merasakan vaginaku pun dimasukkan oleh Kontol Mas Toni.
Beberapa saat kemudian Mas Toni mulai melenguh
keras. Kuhentikan kegiatanku dan terus memperhatikan mereka.
“Aakhh.. Yunai.. nikmaats.. aakh.. aku
keluaar..!” teriak Mas Toni membahana.
“Oh.. Maas.. akuu.. juggaa.. akh..!”
Kedua tubuh itu bersamaan mengejang. Mereka
mencapai orgasmenya secara bersama-sama. Kontol Mas Toni masih menancap di
vagina Yuna sampai akhirnya mereka melemas, dan dari belakang tubuh Yuna, Mas
Toni memeluknya sambil meremas kedua payudara Yuna. Mas Toni memasukkan semua
spermanya ke dalam vagina Yuna.
Lama sekali aku melihat mereka tidak bergerak.
Rupanya mereka sangat kelelahan. Di sofa itu mereka tertidur bertumpukan. Tubuh
Yuna berada di bawah tubuh Mas Toni yang menindihnya. Mata mereka terpejam
seolah tidak menghiraukan aku yang duduk terpaku di depannya. Hingga aku pun
mulai bangkit dari dudukku dan beranjak pergi menuju kamarku. Sesampai di kamar
aku baru sadar kalau aku masih telanjang bulat. Maka aku pun balik lagi menuju
kamar Yuna di mana celana dalam dan BH yang akan kupakai berada di sana.
Selagi aku berjalan melewati ruang tamu itu, aku
melihat mereka masih terkulai di sofa itu. Tanpa menghiraukan mereka, aku terus
berjalan memasuki kamar Yuna dan memungut celana dalam dan BH yang ada di
lantai. Setelah kukenakan semuanya, kembali aku berjalan menuju kamarku dan
sempat sekali lagi aku menengok mereka di sofa itu pada saat aku melewati ruang
tamu.
Sesampai di kamar, entah kenapa rasa lelah dan
kantukku hilang. Aku menjadi semakin resah membayangkan kejadian yang baru
kualami. Pertama ketika aku dimasturbasikan oleh suami istri itu. Dan yang
kedua aku terus membayangkan kejadian di mana mereka melakukan persetubuhan
yang hebat itu. Keinginanku untuk merasakan Kontol Mas Toni sangat besar. Aku
mengharapkan sekali Mas Toni sekarang menghampiri dan menikmatiku. Namun itu
mungkin tidak terjadi, karena aku melihat mereka sudah lelah sekali.
Entah sudah berapa kali mereka bersetubuh pada
saat aku terlelap tadi. Aku semakin tidak dapat menahan gejolak birahiku
sendiri hingga aku merebahkan diri di kasur empuk. Dengan posisi telungkup, aku
mulai memejamkan mata dengan maksud agar aku terlelap. Namun semua itu sia-sia.
Karena kembali kejadian-kejadian barusan terus membayangiku. Secara cepat aku
teringat bahwa tadi ketika mereka bersetubuh, aku melakukan masturbasi sendiri
dan itu tidak selesai. Maka tanganku segera kuselipkan di selangkanganku. Aku
membelai kembali vaginaku yang terasa panas itu.
Dan ketika tanganku masuk ke dalam celanaku, aku
mulai menyentuh klitorisku. Kembali aku nikmat. Aku tidak kuasa membendung
perasaan itu, dan jariku mulai menemukan lubang Memek ku yang berlendir itu.
Dengan berusaha membayangkan Mas Toni menyetubuhiku, kumasukkan jari tengahku ke
dalam lubang itu dalam-dalam. Kelembutan di dalam vaginaku dan gesekan di
dinding-dindingnya membuatku mendesah kecil.
Sambil mengeluar-masukkan jari tengahku, aku
membayangkan betapa besar dan panjangnya Kontol Mas Toni. Beda sekali dengan
Kontol Mas Karmo yang kumiliki. Kemaluan Mas Toni panjang dan besarnya
normal-normal saja. Sedangkan milik Mas Toni, sudah panjang dan besar, dihiasi
oleh urat-uratnya yang menonjol di lingkaran batang kemaluannya. Itu semua
kulihat tadi dan kini terbayang di dalam benakku.
Beberapa menit kemudian, ketika ada sesuatu yang
lain di dalam vaginaku, semakin kupercepat jari ini kukeluar-masukkan. Sambil
terus membayangi Mas Toni yang menyetubuhiku, dan aku sama sekali tidak
membayangkan suamiku sendiri. Setiap bayangan suamiku muncul, cepat-cepat
kubuang bayangan itu, hingga kembali Mas Toni lah yang kubayangkan.
Tanpa sadar, ketika aku akan mencapai orgasme,
aku membalikan badan dan aku memasukkan jari telunjuk ke dalam lubang vaginaku.
Dalam keadaan telentang aku mengangkangkan selebar mungkin pahaku. Kini dua
jariku yang keluar masuk di lubang vaginaku. Maka kenikmatan itu berlanjut
hebat sehingga tanpa sadar aku memanggil-manggil pelan nama Mas Toni.
“Akh.. sshh.. Mass.. Tonii.. Okh.. Mass.. Mas..
Toni.. aakkh..!” itulah yang keluar dari mulutku.
Seer.. aku merasa kedua jariku hangat sekali dan
semakin licin. Aku mengangkat ke atas pinggulku sambil tidak melepas kedua
jariku menancap di lubang vaginaku. Beberapa lama tubuhku merinding, mengejang,
dan nikmat tidak terkira. Sampai pada akhirnya aku melemas dan pinggulku turun
secara cepat ketika kenikmatan itu perlahan berkurang.
Aku mencabut jari jemariku dan cairan yang
menempel di jari-jari itu segera kujilati. Asin campur gurih yang kurasakan di
lidahku. Dengat mata yang terpejam-pejam kembali aku membayangkan Kontol Mas
Toni yang sedang kuciumi, kuhisap, dan kurasakan. Cairan yang asin dan gurih
itu kubayangkan sperma Mas Toni. Ohh.., nikmatnya semua ini. Dan setelah aku
puas, barulah kuhentikan hayalan-hayalanku itu. Kutarik selimut yang ada di
sampingku dan menutupi sekujur tubuhku yang mulai mendingin. Aku tersenyum
sejenak mengingat hal yang barusan, gila.. aku masturbasi dengan membayangkan
suami orang lain.
Pagi harinya, ketika aku terjaga dari tidurku
dan membuka mataku, aku melihat di balik jendela kamar sudah terang. Jam berapa
sekarang, pikirku. Aku menengok jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh
pagi. Aku kaget dan bangkit dari posisi tidurku. Ufh.., lemas sekali badan ini
rasanya. Kukenakan celana dalamku. Karena udara sedikit dingin, kubalut tubuhku
dengan selimut dan mulai berdiri. Ketika berdiri, sedikit kugerak-gerakan
tubuhku dengan maksud agar rasa lemas itu segera hilang. Lalu dengan gontai aku
berjalan menuju pintu kamar dan membuka pintu yang tidak terkunci.
Karena aku ingin pipis, segera aku berjalan
menuju kamar mandi, sesampainya di kamar mandi segera kuturunkan celana dalamku
dan berjongkok. Keluarlah air hangat urine-ku dari liang vagina. Sangat banyak
sekali air kencingku, sampai-sampai aku pegal berjongkok. Beberapa saat
kemudian, ketika air kencingku habis, segera kubersihkan vaginaku dan kembali
aku mengenakan celana dalamku, lalu kembali pula aku melingkari kain selimut
itu, karena hanya kain ini yang dapat kupakai untuk menahan rasa dingin, baju
tidur yang akan dipinjamkan oleh Yuna masih berada di kamarnya.
Aku keluar dari kamar mandi itu, lalu berjalan
menuju ruangan dapur yang berada tidak jauh dari kamar mandi itu, karena
tenggorokanku terasa haus sekali. Di dapur itu aku mengambil segelas air dan
meminumnya. Setelah minum aku berjalan lagi menuju kamarku. Namun ketika sampai
di pintu kamar, sejenak pandangan mataku menuju ke arah ruang tamu. Di sana
terdapat Mas Toni sedang duduk di sofa sambil menghisap sebatang rokok. Matanya
memandangku tajam, namun bibirnya memperlihatkan senyumnya yang manis. Dengan
berbalut kain selimut di tubuhku, aku menghampiri Mas Toni yang memperhatikan
aku. Lalu aku duduk di sofa yang terletak di depannya. Aku membalas tatapan Mas
Toni itu dengan menyunggingkan senyumanku.
“Yuna mana..?” tanyaku padanya membuka
pembicaraan.
“Sedang ke warung sebentar, katanya sih mau beli
makanan..!” jawabnya.
“Mas Toni tidak kerja hari ini..?”
“Tidak akh.., malas sekali hari ini. Lagian khan
aku tak mau kehilangan kesempatan..!” sambil berkata demikian dengan posisi
berlutut dia menghampiriku.
Setelah tepat di depanku, segera tangannya
melepas kain selimut yang membungkusi tubuhku. Lalu dengan cepat sekali dia
mulai meraba-raba tubuhku dari ujung kaki sampai ujung pahaku. Diperlakukan
demikian tentu saja aku geli. Segera bulu-bulu tubuhku berdiri.
“Akh.. Mas..! Gellii..!” kataku. Mas Toni tidak
menghiraukan kata-kataku itu.
Kini dia mulai mendaratkan bibirnya ke seluruh
kulit kakiku dari bawah sampai ke atas. Perlakuannya itu berulang-ulang,
sehingga menciptakan rasa geli campur nikmat yang membuatku terangsang. Lama
sekali perlakuan itu dilakukan oleh Mas Toni, dan aku pun semakin terangsang.
“Akh.. Mas..! Oh.., mmh..!” aku memegang bagian
belakang kepala Mas Toni dan menariknya ketika mulut lelaki itu mencium
vaginaku.
Semakin aku mengangkangkan pahaku, dengan
mesranya lidah Mas Toni mulai menjilat Memek ku itu. Tubuhku mulai
bergerak-gerak tidak beraturan, merasakan nikmat yang tiada tara di sekujur
tubuhku. Aku membuang kain selimut yang masih menempel di tubuhku ke lantai,
sementara Mas Toni masih dengan kegiatannya, yaitu menciumi dan menjilati
vaginaku. Aku menengadah menahan nikmat, kedua kakiku naik di tumpangkan di
kedua bahunya, namun tangan Mas Toni menurunkannya dan berusaha membuka
lebar-lebar kedua pahaku itu. Karuan saja selangkanganku semakin terkuak lebar
dan belahan vaginaku semakin membelah.
“Akh.. Mas..! Shh.. nikmaats..! Terus Mass..!”
rintihku.
Kedua tangan Mas Toni ke atas untuk meremas
payudaraku yang terasa sudah mengeras, remasan itu membuatku semakin nikmat
saja, dan itu membuat tubuhku semakin menggelinjang. Segera aku menambah
kenikmatanku dengan menguakkan belahan vaginaku, jariku menyentuh kelentitku
sendiri. Oh.., betapa nikmat yang kurasakan, liang Memek ku sedang disodok oleh
ujung lidah Mas Toni, kedua payudaraku diremas-remas, dan kelentitku kusentuh
dan kupermainkan. Sehingga beberapa detik kemudian terasa tubuhku mengejang
hebat disertai perasaan nikmat teramat sangat dikarenakan aku mulai mendekati
orgasmeku.
“Oh.. Mas..! Aku.. aku.. akh.., nikmaats..
mhh..!” bersamaan dengan itu aku mencapai klimaksku.
Tubuhku melayang entah kemana, dan sungguh aku
sangat menikmatinya. Apalagi ketika Mas Toni menyedot keras lubang Memek ku
itu. Tahu bahwa aku sudah mencapai klimaks, Mas Toni menghentikan kegiatannya
dan segera memelukku, mecium bibirku.
“Kamu sungguh cantik, Vera.., aku cinta
padamu..!” sambil berkata demikian, dengan pinggulnya dia membuka kembali
pahaku, dan terasa batang kemaluannya menyentuh dinding kemaluannku.
Segera tanganku menggenggam kemaluan itu dan
mengarahkan langsung tepat ke liang vaginaku.
“Lakukan Mas..! Lakukan sekarang..! Berikan
cintamu padaku sekarang..!” kataku sambil menerima setiap ciuman di bibirku.
Mas Toni dengan perlahan memajukan pinggulnya,
maka terasa di liang vaginaku ada yang melesak masuk ke dalamnya. Gesekan itu
membuatku kembali menengadah, sehingga ciumanku terlepas. Betapa panjang dan
besar kurasakan. Sampai aku merasakan ujung kemaluan itu menyentuh dinding
rahimku.
“Suamimu sepanjang inikah..?” tanyanya.
Aku menggelengkan kepala sambil terus menikmati
melesaknya Kontol itu di liang vaginaku. Beberapa saat kemudian sudah amblas
semua seluruh batang kemaluan Mas Toni. Aku pun sempat heran, kok bisa batang
Kontol yang panjang dan besar itu masuk seluruhnya di vaginaku. Segera aku
melipatkan kedua kakiku di belakang pantatnya. Sambil kembali mencium bibirku
dengan mesra, Mas Toni mendiamkan sejenak batang Kontolnya terbenam di
vaginaku, hingga suatu saat dia mulai menarik mundur pantatku perlahan dan
memajukannya lagi, menariknya lagi, memajukannya lagi, begitu seterusnya hingga
tanpa disadari gerakan Mas Toni mulai dipercepat. Karuan saja batang Kontol
yang kudambakan itu keluar masuk di vaginaku. Vagina yang seharusnya hanya
dapat dinikmati oleh suamiku, Mas Karmo.
Di alam kenikmatan, pikiranku menerawang. Aku
seorang perempuan yang sudah bersuami tengah disetubuhi oleh orang lain, yang
tidak punya hak sama sekali menikmati tubuhku, dan itu sangat di luar dugaanku.
Seolah-olah aku sudah terjebak di antara sadar dan tidak sadar aku sangat
menikmati perselingkuhan ini. Betapa aku sangat mengharapkan kepuasan
bersetubuh dari lelaki yang bukan suamiku. Ini semua akibat Yuna yang memberi
peluang seakan sahabatku itu tahu bahwa aku membutuhkan ini semua.
Beberapa menit berlalu, peluh kami sudah
bercucuran. Sampailah aku pada puncak kenikmatan yang kudambakan. Orgasmeku
mulai terasa dan sungguh aku sangat menikmatinya. Menikmati orgasmeku oleh
laki-laki yang bukan suamiku, manikmati orgasme oleh suami sahabatku. Dan aku
tidak menduga kalau rahimku pun menampung air sperma yang keluar dari Kontol
lelaki selain suamiku. Singkat kisahku, kini aku sudah bekerja di salah satu
perusahaan milik bapaknya Yuna. Dengan demikian kehiduapanku selanjutnya mulai
membaik. Ini semua berkat bantuan dari sahabatku Yuna. Namun sekarang tercipta
problema baru yang mengganggu pikiranku. Penghianatanku terhadap Mas Karmo
tidak berhenti sampai di sini.
Gairah seksku tidak dapat tertahankan. Aku dapat
melayani suamiku hingga beberapa kali. Dan jika aku tidak merasa puas,
kulampiaskan gejolakku itu dengan Mas Toni, bahkan kalau Mas Toni tidak ada,
aku mencari kepuasan seksku dengan siapa saja yang aku mau. Dan untungnya
hingga kini suamiku tidak mengetahuinya, tapi apa mungkin dia telah
mengetahuinya..? Ah! Aku tidak perduli.
0 komentar :
Posting Komentar